SYI’AH DAN KEMAKSUMAN PARA IMAM
Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal
Kaum Syiah Rafidhah meyakini bahwa 12 imam mereka memiliki sifat ishmah (maksum).
Menurut mereka, maksum adalah tidak pernah berbuat dosa besar ataupun
kecil, bahkan tidak pernah melakukan kesalahan sama sekali, baik ucapan
maupun perbuatan. Disebutkan oleh al-Majlisi dalamBiharul Anwar,
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya Syiah Imamiyah (Rafidhah, -pen.)
bersepakat atas kemaksuman para imam—‘alaihimus salam—dari dosa-dosa,
yang kecil dan yang besar. Mereka sama sekali tidak memiliki dosa, baik
secara sengaja, lupa, keliru dalam penakwilan, maupun Allah Subhanahu wata’ala yang menjadikannya lalai.” (Biharul Anwar, 25/211, Ushul Madzhab asy-Syiah, 775)
Demikian pula yang ditegaskan oleh seorang
tokoh Syiah yang hidup di abad keempat, Ibnu Babawaih. Ia berkata,
“Agama Syiah Imamiyah menyatakan, ‘Keyakinan kami tentang para imam,
mereka adalah maksum, disucikan dari setiap kotoran, tidak pernah
berbuat dosa kecil ataupun besar, dan tidak pernah bermaksiat kepada
Allah Subhanahu wata’ala dalam hal yang Allah Subhanahu wata’ala perintahkan,
serta senantiasa mengerjakan apa saja yang diperintahkan. Siapa yang
mengingkari kemaksuman mereka dalam keadaan apa pun, sungguh ia telah
menuduh mereka jahil. Siapa yang menuduh mereka jahil, sungguh ia telah
kafir. Keyakinan kami terhadap mereka bahwa mereka maksum, memiliki
sifat yang sempurna dan ilmu yang sempurna dari awal urusan mereka
hingga akhirnya. Setiap keadaan mereka tidak memiliki sifat kekurangan,
maksiat, dan tidak pula kejahilan’.” (al-I’tiqadat, hlm. 108—109, Ushul Madzhab Syiah, 780)
Mereka juga berkata, “Sesungguhnya para
sahabat kami dari kalangan Syiah Imamiyah telah bersepakat bahwa para
imam itu maksum dari berbagai dosa kecil ataupun besar, secara sengaja,
keliru, ataupun lupa, sejak mereka lahir hingga bertemu Allah Subhanahu wata’ala.” (Biharul Anwar, 25/350—351)
Kesimpulan dari apa yang disebutkan di atas, bahwa:
- Yang dimaksud maksum menurut versi Syiah adalah tidak pernah berbuat dosa apa pun, kecil atau besar, bahkan tidak pernah keliru, lalai, dan lupa.
- Kemaksuman para imam adalah hal yang telah disepakati/ijma’ ulama.
- Siapa yang mengingkari kemaksuman para imam, dia kafir dan keluar dari Islam.
Anehnya, tatkala menafikan adanya sifat sahwu (lupa) dari para imam, mereka menetapkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengalami kelupaan. Mereka anggap pendapat yang mengingkari adanya sifat lupa dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai mazhab yang ghuluw dan melampaui batas. Al-Majlisi berkata dalam kitabnya, Man La Yahdhuruhul Faqih, “Sesungguhnya para ghulat (kelompok yang berlebihlebihan) dan ahli tafwidh—semoga Allah Subhanahu wata’ala melaknat mereka—mengingkari sifat lupa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka berkata, ‘Seandainya bisa terjadi
kelupaan di dalam shalat, bisa pula terjadi kelupaan dalam menyampaikan
agama. Sebab, shalat adalah kewajiban sebagaimana halnya meyampaikan
agama juga kewajiban… Lupanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sama dengan lupanya kita karena lupa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mberasal dari Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala
yang menjadikannya lupa dalam rangka mengabarkan bahwa beliau adalah
manusia biasa dan seorang makhluk, sehingga tidak dijadikan sebagai Rabb
yang disembah selain-Nya.
Selain itu untuk menerangkan kepada manusia
hukum sujud sahwi saat terjadi kelupaan. Adalah Syaikh kami, Muhammad
bin al-Hasan bin Ahmad bin al-Walid berkata, ‘Tingkatan ghuluw yang pertama adalah mengingkari bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lupa. Aku mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wata’ala untuk menulis sebuah kitab khusus yang menetapkan sifat lupa bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan bantahan terhadap para pengingkarnya’.” (Man La Yahdhuruhul Faqih, 1/234)
Bahkan, ar-Ridha menetapkan bahwa sifat
lupa dapat dialami oleh siapa saja, bahkan para imam mereka sekalipun.
Ia berkata, “Sesungguhnya yang tidak pernah lupa hanyalah Allah Subhanahu wata’ala. Kitab kitab Syiah banyak meriwayatkan berita tentang lupanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat.” (Man La Yahdhuruhul Faqih, 1/233)
Oleh karena itu, dalam kitab-kitab Syiah
sendiri banyak sekali dinukil bahwa para imam mereka mengalami kesalahan
dan kelupaan.Di antara yang menunjukkan hal tersebut adalah yang
disebutkan dalam kitab Nahjul Balaghah—salah satu kitab kebanggaan kaum Syiah—tentang doa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي فَإِنْ عُدْتُ فَعُدْ عَلَيَّ باِلْمَغْفِرَةِ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا وَأَيْتُ مِنْ نَفْسِي وَلَمْ تَجِدْ لَهُ وَفَاءً عِنْدِي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا تَقَرَّبْتُ بِهِ إِلَيْكَ بِلِسَانِي ثُمَّ خَالَفَ قَلْبِي، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي رَمَزَاتِ الْأَلْحَاظِ وَسَقَطَاتِ الْأَلْفَاظِ وَشَهَوَاتِ الْجِنَانِ وَهَفَوَاتِ اللِّسَان
“Ya Allah, ampunilah aku sesuatu yang Engkau lebih mengetahui dariku, dan jika aku mengulanginya, kembalilah kepadaku dengan ampunan-Mu. Ya Allah, ampunilah aku terhadap apa yang aku janjikan pada diriku lalu Engkau mendapatiku tidak menepatinya. Ya Allah, ampunilah aku terhadap sesuatu yang aku mendekatkan diri kepada-Mu dengan lisanku, tetapi hatiku menyelisihinya. Ya Allah, ampunilah aku dari cibiran mata (merendahkan atau mengolok–olok, –pen.), dan ketergelinciran lafadz ucapan, syahwat hati, dan kekeliruan lisan.” (Nahjul Balaghah, hlm. 104)
Seandainya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dianggap sebagai imam yang maksum, lantas mengapa beliau berdoa memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wata’ala
dari segala dosa dan kesalahan, sebagaimana yang disebutkan oleh
riwayat ini? Demikian pula, mereka meriwayatkan dari Abu Abdillah Ja’far
ash-Shadiq bahwa beliau berkata,
إِنَّا لَنُذْنِبُ وَنَسِيءُ ثُمَّ نَتُوبُ إِلَى اللهِ مَتَابًا
“Sesungguhnya kami berbuat dosa dan keburukan, lalu kami bertobat kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan sebenar-benarnya.” (Biharul Anwar, 25/207)
Kaum Syiah juga meriwayatkan dari salah
seorang imam mereka, Abul Hasan Musa al-Kazhim, ia berkata, “Wahai
Rabbku, aku bermaksiat kepada-Mu dengan lisanku. Seandainya Engkau
berkehendak, tentu Engkau telah menjadikanku bisu. Aku bermaksiat
kepada-Mu dengan pandanganku, jika Engkau ingin, tentu Engkau telah
menjadikanku buta. Aku telah bermaksiat kepada-Mu dengan
pendengaranku,jika Engkau ingin, tentu Engkau telah menjadikanku tuli.
Aku bermaksiat kepadamu dengan tanganku, jika Engkau ingin, tentu Engkau
telah menjadikanku buntung. Aku telah bermaksiat kepada- Mu dengan
kemaluanku, jika Engkau ingin, Engkau telah menjadikanku mandul. Aku
bermaksiat kepada-Mu dengan kakiku, jika Engkau ingin, tentu Engkau
telah menjadikanku lumpuh. Aku telah bermaksiat kepada-Mu dengan seluruh
anggota tubuhku yang telah Engkau berikan kepadaku sebagai kenikmatan,
dalam keadaan aku tidak mampu membalas-Mu.” (Biharul Anwar, 25/203)
Masih banyak riwayat yang terdapat dalam
kitab-kitab kaum Syiah sendiri yang menetapkan bahwa para imam pun tidak
luput dari kesalahan dan kekeliruan. Oleh karena itu, al-Majlisi
bingung menyikapi masalah kemaksuman para imam ini karena banyak riwayat
yang menunjukkan bahwa para imam mereka pun mengalami kelupaan dan
kesalahan. Sementara itu, di sisi lain dia harus berhadapan dengan
pernyataan para tokoh Syiah lainnya yang menganggap hal ini sebagai
ijma’ dan mengafirkan orang yang mengingkari kemaksuman para imam. Ia
berkata, “Masalah ini memang sangat rumit. Sebab, banyak riwayat dan
ayat yang menunjukkan adanya kelupaan yang mereka (para imam, -pen.)
alami, padahal para sahabat kami bersepakat—kecuali yang ganjil
pendapatnya—tidak bolehnya hal tersebut terjadi pada mereka.” (Biharul Anwar, 25/351, Ushul Madzhab Syiah, 782)
Maksum Versi Ahlus Sunnah
Adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwa para Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terpelihara dan terjaga dalam menyampaikan wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala
kepada umatnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,
“Kaum muslimin sepakat bahwa mereka (para Nabi) adalah maksum
(terpelihara) dalam hal yang mereka sampaikan dari Allah Subhanahu wata’ala. Tidak mungkin Allah Subhanahu wata’alamembiarkan
mereka salah menyampaikan risalah dari-Nya. Dengan ini, tercapailah
tujuan diutusnya (par rasul). Adapun sebelum diutus sebagai nabi tidak
pernah bersalah atau berbuat dosa, tidak ada keharusan seperti itu dalam
sifat kenabian.” (Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah, 2/395)
Sumber: Majalah Asy Syariah