BANTAHAN TERHADAP PIHAK YANG MENYAMAKAN antara: WATSIQAH
MUHAMMAD AL-IMAM, dengan FITNAH PEMAKSAAN KEYAKINAN BAHWA AL-QUR’AN
ADALAH MAKHLUQ (pada masa al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah)
Asy-Syaikh Abul Abbas Yasin bin Ali Al-Adny hafizhahullah
بسم الله الرحمن الرحيم، والحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن والاه. أما بعد:
Telah muncul kekacauan yang aneh, perkara yang membingungkan, dan
kerancuan yang mengherankan dari sebagian orang –semoga Allah memberikan
taufiq kepada kita dan mereka– yaitu berkaitan dengan “Watsiqah” (Surat
Perjanjian Damai) yang ditandatangani oleh Muhammad Al-Imam bersama
kaum Rafidhah yang jahat dan hina. Watsiqah tersebut telah membuka
fitnah yang besar terhadap Dakwah Salafiyah.
Maka saya ingin mengingatkan orang-orang itu dan melenyapkan kerancuan yang tiba-tiba saja muncul dari mereka ini.
Dengan hanya memohon pertolongan kepada Allah saja demi meraih tujuan yang diharapkan, maka saya katakan:
Sesungguhnya memahami perbedaan-perbedaan dalam banyak hal, termasuk
ilmu yang bermanfaat. Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah di dalam
Al-Qawaid Al-Mutsla hal. 187:
فتنبَّهْ للفَرق؛ فإن التنبَّه للفروق بين المتشابهات من أجود أنواع العلم، وبه يزول كثير من الإشكالات.
“Maka hendaknya engkau benar-benar memperhatikan berbagai perbedaan
dengan seksama, karena memperhatikan berbagai perbedaan di antara
perkara-perkara yang serupa termasuk jenis ilmu yang PALING BAGUS, dan dengannya akan hilanglah berbagai kesalahpahaman.”
Perbedaan antara Watsiqah Muhammad Al-Imam dengan fitnah pemaksaan keyakinan bahwa al-qur’an adalah makhluq, dari dua sisi:
Pertama: Pihak yang melakukan memaksakan
keyakinan al-Qur’an makhluq, adalah pihak penguasa (Al-Ma’mun), sehingga
para ulama tidak mampu untuk lari darinya, karena semua negeri-negeri
kaum Muslimin di bawah kekuasaannya. Bahkan ketika itu Al-Ma’mun
memerintahkan para bawahannya agar “menguji” para ulama (apakah mau
menerima doktrin tersebuat atau tidak, pen).
As-Suyuthy berkata dalam Tarikh al-Khulafa’ hal. 227: “Dia (Al-Ma’mun
–pent) menulis sebuah surat kepada bawahannya di Baghdad –yaitu Ishaq
bin Ibrahim Al-Khuza’iy– agar “menguji” para ulama, di dalam surat
tersebut dia mengatakan…”
Adapun Muhammad Al-Imam maka sesungguhnya orang-orang yang dia
menandatangani Watsiqah tersebut bersama mereka, bukanlah penguasa dan
dia (al-Imam, pen) bisa lari dari mereka ke tempat yang aman.
Bahkan Abu Malik Ar-Riyasy telah mengabarkan kepada saya bahwa
Muhammad Al-Imam mengabarkan kepadanya ketika dia pulang dari haji,
dengan mengatakan : “SESUNGGUHNYA ASY-SYAIKH RABI’ MENYURUH SAYA AGAR KELUAR MENINGGALKAN MA’BAR.”
Kedua: Orang-orang yang memenuhi keinginan
Al-Ma’mun dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluq, mereka
melakukan hal itu hanyalah karena takut akan dibunuh.
Adz-Dzahaby berkata dalam Tarikhul Islam (XV/21, tahqiq Dr. Umar
Tadmury –pent): “Ketika itu Yahya bin Ma’in dan selainnya mengatakan:
“Kami terpaksa memenuhinya karena takut terhadap pedang.”
Ash-Shafady berkata dalam Al-Wafy bil Wafayat, XXI/126:
“Al-Farahayany dan selainnya mengatakan: ‘Orang yang paling mengetahui
ilal (ilmu tentang cacat hadits –pent) di masanya adalah Ali Ibnul
Madiny, dan yang nampak bahwasanya dia memenuhi ajakan untuk mengucapkan
keyakinan Ibnu Abi Du-ad, karena takut terhadap pedang.”
Adapun Muhammad Al-Imam maka di sana tidak ada perkara yang sifatnya
terpaksa yang mendorongnya untuk menandatangani watsiqah tersebut, hal
itu sebagaimana yang dia nyatakan secara terang-terangan pada khutbah
Ied. Hanya saja kaum itu bersahabat.
Dan saudara kami Shalah Kantusy telah mengabarkan kepada saya bahwa
ketika dia pergi ke Mafraq Hubaisy, Syaikh Abdul Aziz Al-Bura’iy berkata
kepadanya:
إن الإمام لم يترك لنا سبيلا من أجل أن ندافع عنه.
“Sesungguhnya Al-Imam tidak meninggalkan untuk kita sebuah jalan pun
untuk membelanya.” (yakni tidak tersisa alasan apapun untuk bisa membela
al-Imam, pen)
Bahkan Abdurrahman Mar’iy telah mengabarkan kepada saya –hal itu
disaksikan oleh beberapa orang yang lain– bahwa asy-Syaikh Abdul Aziz
Al-Bura’iy hampir saja menulis bantahan terhadap Al-Imam, kalau saja
masayikh yang lain tidak mengatakan kepadanya: “Yang afdhal kita
keluarkan penjelasan yang sifatnya umum.”
Mungkin saja ada yang mengatakan bahwa keterpaksaan yang mendorong Muhammad Al-Imam adalah khawatir Ditutupnya markiz Ma’bar.
Saya katakan: Apakah jika markiz Ma’bar ditutup berarti Dakwah Salafiyah akan lenyap?!
Bahkan saya katakan: Kalian tidak tahu barangkali penutupan markiz
Ma’bar padanya terdapat kebaikan, hal itu karena para thullab Ma’bar
bisa menyebar di seluruh pelosok negeri Yaman untuk mendakwahkan agama
Allah, sehingga dakwah pun tersebar dan sulit bagi Rafidhah untuk
mengikuti ke mana saja mereka dan menguntit mereka.
Demikian juga dengan Muhammad Al-Imam, sungguh bisa jadi dia lebih memiliki waktu yang luang untuk ilmu.
Perhatikanlah berbagai warisan atau peninggalan dari Asy-Syaikh
Al-Albany berupa tulisan maupun audio yang menyebar di belahan bumi
barat dan timur serta utara dan selatan! Apakah beliau memiliki markiz?!
Saya memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala untuk bisa meraih
kebaikan yang kita inginkan, dan penjagaan dari kesalahan dan
ketergelinciran padanya. Sesungguhnya Dia mampu dan Maha Kuasa atasnya.
Ditulis oleh: Abul Abbas Yasin bin Ali Al-Adny
Aden – Yaman
Malam Ahad, 29 Shafar 1439 H
WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia