SYI’AH DAN IMAMAH
Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal
Keimaman dalam agama Syiah adalah prinsip yang paling utama. Seluruh
keyakinan dan seluruh riwayat mereka kembali kepada masalah keimamahan
ini. Masalah imamah (kepemimpinan) inilah yang menjadi inti ajaran dan
asal muasal lahirnya pemikiran Syiah yang dibawa oleh Abdullah bin
Saba’. Kitab-kitab Syiah mengakui bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang
yang pertama memopulerkan keyakinan wajibnya meyakini kepemimpinan
(keimamahan) Ali bin Abi Thalibradhiyallahu ‘anhu, menampakkan sikap berlepas diri dari musuh-musuhnya, dan menyingkap para penentangnya, serta mengafirkan mereka. (Rijal al-Kisysyi, hlm.108—109, al- Maqalat wal Firaq, hlm. 20 karya an Nubakhti, Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 654)
Itu pula yang ditetapkan oleh Ahlus Sunnah, sebagaimana yang disebutkan oleh asy-Syahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang pertama yang memunculkan pendapat tentang keimamahan Ali radhiyallahu ‘anhu. (al-Milal wa an-Nihal,1/174)
Menurut kaum Syiah, pengangkatan imam adalah janji yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wata’ala kepada mereka satu per satu. Dalam kitab al-Kafi disebutkan sebuah bab dengan judul “Imamah Adalah Janji dari Allah Subhanahu wata’ala yang Telah Ditetapkan dari Seseorang kepada yang Lain”. Ada juga bab “Nash yang Disebutkan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Terhadap Para Imam Satu Persatu”. (al-Kafi, 1/227 dan 1/286)
Salah seorang tokoh rujukan Syiah, Muhammad Husain Alu Kasyifil
Ghitha, berkata, “Imamah adalah kedudukan ilahiah seperti halnya
kenabian. Sebagaimana halnya Allah Subhanahu wata’ala
memilih siapa yang Dia kehendaki dari parahamba-Nya menjadi nabi dan
rasul, lalu menguatkannya dengan mukjizat sebagai pembuktian nash dari
Allah Subhanahu wata’ala…, demikian pula Dia memilih siapa
yang dikehendaki-Nya menjadi imam dan memerintah Nabi-Nya untuk
menyebutkannya secara tegas, dan mengangkatnya sebagai pemimpin bagi
umat manusia setelahnya.” (Ashlus Syiah wa Ushuluha, hlm. 58, Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 655)
Kedudukan Imamah dalam Agama Syiah
Di dalam agama Syiah, kedudukan imamah jauh lebih mulia dari kedudukan seorang nabi utusan Allah Subhanahu wata’ala.
Inilah yang dijelaskan oleh para tokoh Syiah. Ni’matullah al-Jazairi
berkata, “Keimamahan yang bersifat umum yang merupakan kedudukan di atas
tingkatan kenabian dan kerasulan….” (Zahrur Rabi’, hlm. 12)
Hadi at-Taharani berkata, “Keimaman lebih agung daripada kenabian. Sebab, keimamahan adalah kedudukan ketiga yang Allah Subhanahu wata’ala memuliakan Ibrahim dengannya setelah kedudukan nabi dan khalil.” (Wadayi’ an-Nubuwah, hlm. 114)
Ia juga mengatakan, “Sesungguhnya yang paling agung dalam agama yang Allah Subhanahu wata’ala mengutus Nabi-Nya ini adalah masalah imamah.” (Wadayi’ an-Nubuwah, hlm. 115)
Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja’far, ia berkata,
“Islam dibangun di atas lima hal: shalat, zakat, puasa, haji, dan
keimaman (kepemimpinan). Tidak ada sesuatu yang lebih penting untuk
didakwahkan selain kepemimpinan. Namun, manusia mengambil yang empat dan
meninggalkan yang satu ini.” (Ushul al-Kafi, 2/18)
Perhatikanlah riwayat yang mereka sebutkan di atas… Mereka menjadikan
masalah imamah sebagai pengganti dua kalimat syahadat!! Di samping itu,
menjadikannya sebagai rukun Islam yang terpenting. Adakah kesesatan
yang melebihi kesesatan mereka ini?
Berapa Jumlah Imam?
Kaum Syiah berselisih pendapat dalam menyebutkan jumlah imam mereka. Disebutkan dalam Mukhtashar at-Tuhfah,
“Ketahuilah bahwa Imamiyah berpendapat bahwa jumlah imam itu terbatas,
namun mereka berselisih tentang jumlahnya. Sebagian mengatakan lima,
sebagian lagi mengatakan tujuh, sebagian lagi mengatakan delapan,
sebagian lagi mengatakan dua belas, dan sebagian mengatakan tiga belas.”
(Mukhtashar Tuhfah, hlm.193, Ushul Madzhab asy- Syiah, hlm. 666)
Kemudian terjadi kesepakatan bahwa jumlah imam terbatas menjadi dua
belas, setelah meninggalnya al-Hasan al-Askari yang dianggap sebagai
imam kesebelas. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,
“Tidak ada seorang pun dari keturunan keluarga Nabi dari bani Hasyim,’baik
di masa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar,
Utsman, maupun Ali Radhiyallahu ‘anhuma, yang berpendapat bahwa imam itu
berjumlah dua belas.” (Minhajus Sunnah, 2/111) Beliau juga
berkata, “Sebelum wafatnya al-Hasan (yakni al-Hasan bin Ali al-‘Askari
yang dianggap sebagai imam kesebelas kaum Syiah), tidak seorang pun yang
berpendapat imam muntazhar sebagai imam mereka yang kedua belas.
Tidak ada seorang pun di zaman Ali dan zaman bani Umayyah yang
menetapkan jumlah imam dua belas.” (Minhajus Sunnah, 4/209) Dua belas imam yang ditetapkan oleh kaum Syiah Imamiyah adalah:
- Ali bin Abi Thalib, Abul Hasan al-Murtadha
- Al-Hasan bin Ali, Abu Muhammad az-Zaki
- Al-Husain bin Ali, Abu Abdillah asy-Syahid
- Ali bin al-Husain Abu Muhammad, Zainul Abidin
- Muhammad bin Ali Abu Ja’far al-Baqir
- Ja’far bin Muhammad, Abu Abdillah ash-Shadiq
- Musa bin Ja’far Abu Ibrahim al-Kazhim
- Ali bin Musa Abul Hasan ar-Ridha
- Muhammad bin Ali, Abu Ja’far al-Jawad
- Ali bin Muhammad Abul Hasan al-Hadi
- Al-Hasan bin Ali, Abu Muhammad al-Askari
- Muhammad bin al-Hasan Abul Qasim al-Mahdi
Namun, disebutkan dalam kitab yang paling pertama yang tampak dari
kalangan Syiah, yaitu kitab Salim bin Qais, dia justru menetapkan bahwa
jumlah imam itu ada tiga belas. Bahkan, dalam sebagian riwayat kaum
Syiah, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu tidak masuk
dalam daftar sebagai imam yang berjumlah dua belas. Dalam kitab yang
paling sahih menurut versi Syiah, terdapat riwayat
yang menerangkan bahwa imam mereka berjumlah tiga belas. Al-Kulaini
meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja’far, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
aku dan dua belas imam dari keturunanku. Adapun engkau, wahai Ali,
adalah kancingnya bumi, yaitu sebagai pancang dan bukitnya. Dengan kami, Allah Subhanahu wata’ala mengokohkan bumi agar tidak lenyap bersama penghuninya. Jika dua belas dari keturunanku telah pergi, bumi ini akan lenyap beserta penghuninya dan mereka tidak memerhatikannya.” (Ushul al-Kafi, 1/534)
Demikian pula yang diriwayatkan dari Abu Ja’far, dari Jabir, ia
berkata, “Aku masuk bertemu Fatimah. Di hadapannya ada lempengan yang di
dalamnya bertuliskan nama-nama (imam) yang diberi wasiat dari
keturunannya. Fatimah menghitungnya berjumlah dua belas. Yang terakhir
adalah al-Qaim. Tiga di antara mereka bernama Muhammad, dan tiga di
antara mereka bernama Ali.” (Ushul al-Kafi, 1/532)
Lihatlah, riwayat ini menyebutkan bahwa imam dua belas itu berasal
dari keturunan Fatimah. Jadi, Ali bin Abi Thalib tidak termasuk dari
kalangan imam mereka karena beliau adalah suami Fatimah, bukan anaknya.
Adanya perselisihan penentuan jumlah imam, menunjukkan bahwa pembatasan
dua belas imam tersebut sama sekali tidak dibangun di atas landasan yang
jelas dari kitabullah atau sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas bagaimana bisa hal ini dianggap sebagai bagian rukun Islam, bahkan menggantikan posisi dua kalimat syahadat?
Sumber: Majalah Asy Syariah