PEMBELAAN ASY SYAIKH ABDUL AZIZ BIN BAZ TERHADAP HADITS-HADITS NABI SHALALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibnu Rifai
Pada tahun 1420 H, umat kehilangan dua alim
rabbani: asy- Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani dan
asy-Syaikh al-Walid Abdul Aziz bin Baz. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
nama yang tidak asing di tengah kaum muslimin. Harum nama beliau. Dunia
Islam menyaksikan perjuangan beliau dalam membela Islam dan kaum
muslimin. Adapun celaan yang tertuju kepada beliau hanyalah riak-riak di
tengah luasnya samudra. Cukuplah biografi beliau dan sanjungan alam
Islam sebagai bantahan bagi mereka yang dengan lancang mencela orang
yang telah menghabiskan waktunya untuk membela Islam.
Meninggal pada usia 90 tahun, pada hari
Kamis, Muharram 1420 H. Seusai shalat Jum’at, jenazah dishalati di
Masjidil Haram bersama duka yang mendalam dan awan kelabu yang
menyelimuti kalbu kaum muslimin. Shalat gaib juga ditegakkan di Masjid
Nabawi dan masjid-masjid jami’ di Kerajaan Arab Saudi, hari itu. Umat
kehilangan lagi sosok ulama mujaddid. Demikianlah zaman berlalu. Satu
demi satu ulama meninggalkan dunia hingga kejahilan semakin merebak.
Manusia pun akan menjadikan pemimpinpemimpin dan tokoh-tokoh mereka dari
kalangan orang-orang yang jahil sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits,
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِمَوْتِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمٌ، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mencabut ilmu dengan serta-merta dari dada-dada manusia, namun Allah Subhanahu wa ta’ala
mencabut ilmu dengan wafatnya ulama. Karena itu, ketika tidak ada lagi
seorang yang ‘alim, manusia lantas mengangkat pemimpin mereka dari
kalangan orang-orang jahil, mereka ditanya dan memberikan fatwa (di atas
kejahilan), mereka pun sesat dan menyesatkan.”
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
termasuk pemuka ulama yang sangat gigih menyebarkan akidah Islam dan
membela dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Hal ini tampak dalam amaliah
beliau, ceramah-ceramah dan fatwa fatwa beliau, serta kitab-kitab yang
beliau tinggalkan. Beliau gigih membela tauhid dan memerangi syirik.
Hidup beliau penuh dengan pembelaan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, Islam, sahabat, dan pembelaan terhadap akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Ilmu Hadits
Keilmuan beliau sangat mendalam. Hafal
al-Qur’an sebelum baligh, kemudian beliau tekun duduk di hadapan para
pembesar ulama di zaman itu. Kebutaan total yang menimpa di usia 20
tahun tidak membuatnya surut dalam menimba ilmu, bahkan mendorong beliau
untuk menambah semangat. Allah Subhanahu wa ta’ala membukakan pintu-pintu ilmu untuknya. Jadilah beliau—dengan izin Allah Subhanahu wa ta’ala —seorang
ulama. Semua menyaksikan keluasan ilmu asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
Di samping ilmu akidah, tafsir, fikih, dan cabang-cabang lain, perhatian
beliau kepada hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
demikian kuat. Disebutkan dalam biografinya, beliau menghafal
haditshadits Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Semangat beliau dalam
menyebarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan
bertafaqquh dalam cabang ilmu ini juga tampak kental dalam banyak
pelajaran yang beliau sampaikan kepada para penuntut ilmu. Beliau
mengajarkan Kutubus Sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi
Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah).
Beliau juga mengajarkan Musnad al- Imam
Ahmad, Muwaththa’ al-Imam Malik, Sunan ad-Darimi, Shahih Ibnu Hibban,
as-Sunan al-Kubra lin Nasai, Bulughul Maram, Muntaqal Akhbar, bersama
dengan pelajaran-pelajaran lain yang tekun beliau ajarkan kepada para
penuntut ilmu dalam akidah, tafsir, faraidh (ilmu waris), fikih, dan
cabang ilmu lainnya. Semua orang yang adil dalam menilai akan berdecak
kagum mengucapkan masya Allah la quwwata illa billah, ketika melihat
bagaimana ketajaman beliau menjelaskan makna hadits-hadits sahih sesuai
dengan pemahaman salafush saleh, dengan ungkapan yang mudah, ringkas,
dan padat.
At-Tuhfatul Karimah fi Bayani Ba’dhil Ahadits al-Maudhu’ah was Saqimah
Di samping bersemangat menyebarkan hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang sahih dengan pemahaman salaful ummah, perhatian beliau juga
tertuju kepada hadits-hadits dha’if dan maudhu’ (palsu) yang banyak
tersebar di tengah muslimin. Beliau tidak tinggal diam. Lengan baju
beliau singsingkan untuk menjelaskan kepada umat apa yang tidak sahih
dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam atau bahkan
dipalsukan atas nama beliau. Di antara karya beliau yang menunjukkan
semangat mengikuti jejak salaful ummah dan imam-imam Ahlus Sunnah dalam
membersihkan haditshadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dari kedustaan kaum pendusta dan tercampurnya sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan riwayat-riwayat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya, adalah risalah berjudul at-Tuhfatul Karimah fi Bayan
Ba’dhil Ahadits al-Maudhu’ah was Saqimah2 berisi kumpulan hadits maudhu’
(palsu) dan lemah. Di awal risalah, beliau berkata, “Segala puji bagi
Allah, Dzat yang telah memuliakan kita dengan agama Islam, Dzat yang
telah menjadikan Islam sebagai agama yang paling sempurna, Dzat yang
telah menjaga kitab-Nya yang mulia,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Hijr: 9)
Allah Subhanahu wa ta’ala memudahkan
untuk agama ini keberadaan ulama yang kokoh dalam ilmu, para pembela
yang membersihkan agama ini dari penyimpangan orang yang melampaui
batas, takwil orang-orang jahil, dan makar orang-orang yang berpenyakit
lagi memiliki permusuhan. Allah Subhanahu wa ta’ala menjaga pula sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wasallam
dengan kegigihan ahlul ilmi dan iman, orang-orang yang jujur lagi
tepercaya. Mereka jelaskan kepada umat mana hadits-hadits yang sahih dan
cacat, mana pula hadits-hadits yang hasan dan lemah.
Mereka terjun dalam medan (jihad ini),
meneliti keadaan para perawi yang menukil hadits. Tampaklah mana perawi
yang tsiqah (tepercaya), jujur, memiliki hafalan, amanah, dan bagus
dalam periwayatan serta kuat dalam pemahaman. Tampak pula siapakah
perawi yang muttaham (tertuduh berdusta) atau memang pendusta, yang
jelek hafalannya, atau sangat banyak salahnya karena hafalannya yang
menjadi kacau, atau sebab lainnya. Itu semua mereka jelaskan sebagai
bentuk nasihat kepada umat….
Inilah sebuah risalah sederhana, berisi
keterangan sebagian haditshadits maudhu’ dan dha’if, sengaja saya
kumpulkan agar saya benar-benar berada di atas ilmu tentang
hadits-hadits tersebut. Saya bisa mengambil manfaatnya pertama kali, dan
semoga saudara saya juga dapat mengambil manfaatnya.” (Majmu’ Fatawa)
Asy-Syaikh kemudian mulai menyebutkan hadits-hadits lemah dan palsu yang
beliau urutkan sesuai huruf hijaiyah untuk memudahkan para pencari
hadits mengambil manfaatnya.
Beberapa Hadits Dha’if & Maudhu’ yang Diterangkan asy-Syaikh Abdul Aziz Bin Baz
Untuk menyempurnakan faedah, berikut ini
dua buah hadits, maudhu’ dan dha’if beserta keterangan asy- Syaikh Ibnu
Baz dari risalah at-Tuhfatul Karimah dan fatwa beliau.
1. Hadits maudhu’ tentang anjuran berdoa kepada penghuni kubur.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا تَحَيَّرْتُمْ فِي الْأُمُورِ فَاسْتَعِينُوا بِأَهْلِ الْقُبُورِ
“Jika kalian mendapat kesusahan dalam urusan-urusan kalian, mintalah pertolongan kepada penghuni-penghuni kubur.”
Riwayat ini adalah salah satu syubhat kaum
sufi quburi (pengagung kuburan). Mereka gembar-gemborkan hadits ini
untuk melegalisasi praktik-praktik kesyirikan yang sering mereka lakukan
di kuburan-kuburan yang mereka anggap mulia.3 Asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Baz pernah ditanya, “(Wahai Syaikh) sebagian manusia berkata, memohon
kepada mayit di kubur mereka adalah perkara yang boleh dengan dalil
hadits, ‘Jika kalian mendapat kesusahan dalam perkaraperkara kalian,
mintalah pertolongan kepada penghuni-penghuni kubur.’ Sahihkah hadits
ini atau tidak?” Beliau menjawab bahwa hadits ini termasuk hadits-hadits
yang dipalsukan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana diperingatkan oleh banyak ulama, di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa (1/356), setelah menyebutkan hadits ini, “Hadits ini dusta, dibuat-buat atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ini adalah kesepakatan ulama yang mengerti hadits-hadits beliau. Tidak
ada seorang ulama pun meriwayatkan hadits ini, bahkan hadits ini tidak
ada dalam kitab-kitab hadits yang dijadikan sandaran.”
Hadits yang dipalsukan atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ini bertentangan dengan kandungan al-Kitab dan as-Sunnah tentang kewajiban memurnikan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa ta’ala dan diharamkannya mempersekutukan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Tidaklah diragukan bahwasanya berdoa (memohon) kepada orang-orang yang
telah mati, beristighatsah (memohon pertolongan di kala kesempitan)
kepada mereka, serta berbondong mengharap kepada mereka dalam kesempitan
dan kesusahan termasuk kesyirikan terbesar, sebagaimana berdoa kepada
mereka di masa lapang juga termasuk kesyirikan. 4
Di saat tertimpa kesempitan, kaum musyrikin terdahulu mengikhlaskan doa untuk Allah Subhanahu wa ta’ala (mereka lupa ilah-ilah yang lain, seperti al-Latt, al-‘Uzza, dst, mereka hanya ingat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, -pen.). Namun, ketika kesempitan itu telah tersingkap, mereka kembali lagi melakukan kesyirikan, sebagaimana dalam firman-Nya,
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Apabila mereka naik kapal, mereka
mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; tatkala Allah
menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali)
mempersekutukan (Allah).” (al-Ankabut: 65)
Ayat-ayat al-Qur’an yang semisal dengan ini
sangatlah banyak. (Semuanya menunjukkan bahwa kaum musyrikin terdahulu
memurnikan doa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala di saat kesempitan, setelah mendapatkan kelapangan mereka kembali kepada ilah selain Allah Subhanahu wa ta’ala,
-pen.) Adapun kaum musyrikin saat ini (seperti mereka yang mendatangi
makam-makam para wali, memohon kepadanya, atau menjadikannya sebagai
perantara -pen.), kesyirikan mereka tidak kenal waktu, baik di masa
lapang maupun di masa sempit. Bahkan, di masa sempit, kesyirikan itu
semakin bertambah (yakni ketergantungan mereka kepada para penghuni
kubur menjadi berlipat, -pen.). Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. …
(Mereka berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala, padahal doa hanyalah hak Allah Subhanahu wa ta’ala, -pen.) Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus….” (al-Bayyinah: 5)
Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (al-Mukmin: 14)
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ {} إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
“… Dan orang-orang yang kamu seru
(sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit
ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan
kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.
Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada
yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan
oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13—14)
Ayat ini sifatnya umum, mencakup semua yang diibadahi selain Allah Subhanahu wa ta’ala, baik para nabi, orang-orang saleh, maupun yang lainnya. Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan bahwa doa kaum musyrikin yang ditujukan kepada mereka (orang-orang yang telah mati) adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa ta’ala juga menjelaskan bahwa perbuatan tersebut adalah kekufuran. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَن يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِندَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Dan barang siapa berdoa (menyembah
ilah yang lain) di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun
baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (al-Mukminun: 117)
Ayat-ayat yang menunjukkan wajibnya mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wa ta’ala semata,
kewajiban mengarahkan doa hanya kepada-Nya dan bukan pada yang lainnya,
sangatlah banyak dan pasti diketahui oleh orangorang yang mentadabburi
al-Qur’an dan membacanya untuk mencari petunjuk. Demikian pula ayat yang
menunjukkan diharamkannya beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala berupa orang yang sudah mati, patung-patung, berhala, pepohonan, bebatuan, dan lainnya. Hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala lah
tempat memohon pertolongan, la haula wa la quwwata illa billah. (Majmu’
Fatawa asy-Syaikh bin Baz dan Fatawa Nurun ‘Ala ad-Darb)
2. Hadits dhaif tentang tidak diterimanya shalat orang yang pakaiannya musbil.
وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَقْبَلُ صَلَاةَ رَجُلِ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ
“Dan Allah tidak akan menerima shalat
seseorang yang musbil (menjulurkan kainnya di bawah mata kaki).”
Menjulurkan kain di bawah mata kaki bagi kaum lelaki adalah hal yang
dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadits-hadits
dengan tegas melarangnya secara umum, baik menjulurkan karena sombong
maupun tidak. Bahkan, al-Imam adz-Dzahabi asy- Syafi’i rahimahullah
memasukkannya dalam kitab al-Kabair (dosa-dosa besar). Di kalangan ulama
terja i perbincangan tentang hukum shalat orang yang memakai kain di
bawah mata kaki, apakah sah shalatnya? Asy-Syaikh Ibnu Baz
rahimahullah berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 638
(1/172) dan no. 4086 (4/ 57) dari Musa bin Ismail, dari Aban, dari
Yahya, dari Abu Ja’far, dari ‘Atha’, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Suatu saat ada orang shalat dalam keadaan musbil (menjulurkan sirwalnya di bawah mata kaki). Ketika itu Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
‘Pergilah engkau, ulangi wudhumu!’ Ia pergi lalu datang kembali. Rasul
mengulangi lagi sabdanya, ‘Pergilah engkau, ulangi wudhumu!’ Bertanyalah
seseorang, ‘Wahai Rasulullah mengapa engkau perintahkan dia berwudhu
kemudian engkau diam?’ Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,
إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَقْبَلُ صَلَاةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ
‘Sungguh, ia tadi shalat dalam keadaan musbil, dan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak
akan menerima shalat seseorang yang menjulurkan kainnya di bawah mata
kaki.’ Tentang hadits ini, al-Imam an- Nawawi rahimahullah dalam
Riyadhus Shalihin berkata, ‘Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud
sesuai dengan syarat al- Imam Muslim’.” Saya (asy-Syaikh Ibnu Baz)
katakan, “Ini adalah wahm (kekeliruan) al-Imam an-Nawawi rahimahullah.
Sanad ini sebenarnya tidak sesuai dengan syarat al-Imam Muslim. Sanad
ini justru dha’if (lemah) karena ada dua illat (cacat) di dalamnya.
1. Hadits ini datang dari riwayat Abu Ja’far—tanpa menyebut nasabnya—dan ia majhul (tidak dikenal).
2. Hadits ini adalah riwayat Yahya bin Abi
Katsir dari Abu Ja’far dengan ‘an’anah, padahal Yahya adalah seorang
yang mudallis, dan jika seorang mudallis tidak terang-terangan mendengar
haditsnya (dari sang guru), haditsnya tidak bisa dijadikan hujah,
kecuali jika
berada dalam Shahihain. Seandainya hadits
ini sahih, makna yang terkandung adalah ancaman keras agar seorang tidak
lagi melakukan isbal. Adapun shalatnya tetaplah sah karena Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
memerintahkannya mengulangi shalat. Yang beliau perintahkan adalah
mengulangi wudhunya. Tidak diterimanya shalat dalam hadits, tidak mesti
berkonsekuensi batalnya shalat. Contohnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barang siapa mendatangi dukun lalu ia
bertanya kepadanya tentang sesuatu, sungguh tidak akan diterima
shalatnya selama empat puluh hari.” (HR . Muslim dalam Shahih-nya)
(Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menafikan diterimanya shalat orang yang datang kepada dukun dan
bertanya walaupun tidak memercayainya). Tentang hadits ini, al-Imam
an-Nawawi rahimahullah menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa
dia tidak diperintahkan mengulangi shalatnya, namun pahalanya hilang
(yakni shalat yang dilakukan tidak berpahala selama 40 hari). Ini
sebagai hukuman sekaligus peringatan. Yang serupa dengan ini ada dalam
banyak hadits. Ini semua menunjukkan bahwa tidak diterimanya shalat
orang yang musbil maksudnya adalah (hilang pahalanya) dan tidak
mengharuskan batalnya shalat, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahnya untuk mengulangi shalat. Demikian pula dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahnya mengulangi (shalat). Yang beliau perintahkan untuk diulangi adalah wudhunya…
Bisa jadi, wudhu itu akan meringankan dosa.
Semua makna ini tentu saja jika hadits di atas sahih. Bisa jadi, hadits
di atas dijadikan dalil tidak sahnya shalat (orang yang musbil) karena
tidak adanya perkara yang memalingkan makna ini, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
يَقْبَلُ اللهُ صَلَاهَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima shalat di antara kalian jika berhadats hingga dia berwudhu.” (Muttafaq ‘alaihi)
Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang kita isyaratkan sebelum ini dikeluarkan oleh Abu Dawud dengan no. 637 (1/172) dengan sanad yang sahih. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِي صَلَاتِهِ خُيَلَاءَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي حِلٍّ وَلاَ حَرَامٍ
‘Barang siapa menjulurkan kainnya (di bawah mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengurusinya baik di tanah halal atau haram’.”
Setelah meriwayatkan hadits ini, Abu Dawud
rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh al-Jama’ah
secara mauquf dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syaikh Ibnu Baz mengatakan,
“Mauquf yang seperti ini memiliki hukum
marfu’ karena kandungannya adalah perkara yang tidak mungkin berasal
dari ra’yu (pendapat seseorang), sebagaimana diketahui dari perkataan
ulama ushul fiqih dan musthalah hadits. Wa billahit taufiq.” (Majmu’
Fatawa Syaikh Bin Baz)
Khatimah
Pembaca rahimakumullah, demikian sepenggal
penjelasan asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz di antara
peninggalanpeninggalan beliau yang sangat banyak. Selebihnya, pembaca
dipersilakan merujuk kepada risalah at-Tuhfatul Karimah fi Baya ba’dhil
Ahadits al-Maudhu’ah was Saqimah, dan karya beliau lainnya. Apa yang
sedikit ini semoga memberikan manfaat kepada kita, dan mengingatkan
kepada para pencela asy- Syaikh Abdul Aziz yang telah beruban dalam
membela Islam dan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala merahmati dan mengampuni kita semua dan beliau, kemudian mengumpulkan kita semua di dalam jannah-Nya.
Amin.
Sumber : Majalah Asy Syariah